Kamis, 18 Desember 2014

BAIAT

Serial Bahasan tentang Baiat
Baiat adalah salah satu elemen dalam sebuah jamaah yang mengikat antara pemimpin dan jamaahnya. Maknanya, tujuan baiat adalah mempersatukan umat Islam dalam satu pemimpin dan jamaah. Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin selama tidak dalam maksiat.
Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103).
Banyaknya perselisihan dan perbedaan manhaj akibat pemahaman yang keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj Ahlu Sunnah wal Jamaah. Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau sendirian.
Maka, ketika ada dua orang yang mengikuti sunnah, keduanya harus bergabung dalam satu jamaah sebagai pelaksanaan perintah berjamaah dalam Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah perpecahan. Sebab masing-masing pihak akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua orang.
Bagaimana bila dari dua ini berkembang dan banyak pengikut? Tulisan ini mengajak pembaca untuk berdiskusi tentang baiat sebagai elemen untuk mewujudkan kehidupan berjamaah, yang kemudian dalam praktiknya justru perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan mencoba mengurai di manakah kesalahan itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita lakukan untuk kembali kepada tujuan awal, yaitu berjamaah dalam kebenaran.
Definisi Baiat
Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah ungkapan tentang akad dan perjanjian, seolah-olah masing-masing pihak menjual apa yang ada pada dirinya dan memberikan jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar hatinya.”[1]
Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”[2]
Baiat adalah bagian dari syariat Islam sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah. Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an.
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath:10)
Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan pemimpin umum bagi umat Islam. Maka dengan proses ini umat Islam bersatu dalam barisan.
Baiat Sughra dan Kubra
Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash, para ulama membagi baiat menjadi dua, yaitu baiat kubra dan sughra. Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap penguasa dan juga terhadap selain mereka.[3]
background-2-bb98
Banyak orang belum memahami tentang syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal berjamaah. Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun (perjanjian) yang diambil atas amal makruf syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad, janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk jenis ini adalah baiat untuk melakukan bentuk amal saleh apa saja.[4]
Di antara dalil yang menunjukkan adanya baiat sughra adalah fIrman Allah dalam surat Al-Fath ayat 10 dan 18.
“Bahwasanya orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan menimpa diri sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath: 10)
“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18)
Peristiwa baiat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin.
Baiat tersebut merupakan sikap pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kafr Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. [5]
Selain itu ada juga Baiatun Nisa sebagaimana diterangkan dalam firman Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12. Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah juga mendukung adanya baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila ada tiga orang dalam safar maka hendaknya mereka mengangkat amir (pimpinan) salah satu di antara mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah diwajibkan mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang paling kecil dan bersifat sementara (dalam safar), maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih besar darinya.”
Qiyas Imam Safar?
Jika ada yang mengatakan bahwa imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan imarah amal islami yang lain, maka dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Imarah jamaah-jamaah Islam tidak hanya bersandar pada hadits safar, namun ada dalil-dalil lain.
2. Qiyas imarah jamaah-jamaah Islam terhadap imarah safar merupakan qiyas shahih (benar) lantaran kesamaan ‘illat (sebab).
3. Sesungguhnya jamaah yang berlangsung terus menerus lebih utama untuk menyelenggarakan imarah untuk menata kerapian dan ketertibannya daripada jamaah yang bersifat sementara sebagaimana safar.
4. Baiat sughra/baiat amal jama’i juga tidak berlaku untuk selamanya meskipun rentang waktunya lebih lama dari imarah safar. Imarah amal jama’i juga akan berakhir, yaitu ketika seorang khalifah syar’i telah dibaiat.
better_backgrounds_4
Di antara dalil lebih khusus dan spesifk yang menunjukkan adanya baiat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Imam Muslim. Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata
جَاءَ عَبْدٌ فَبَايَعَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلامُ عَلَى الْهِجْرَةِ
“Datang seorang hamba sahaya lalu berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.” (Shahih Muslim no. 4113)
Karakter Baiat Sughra dan Kubra
Baiat Sughra
Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat (mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.[6]
Ini adalah baiat yang dilakukan sebagian manusia, baik tiga orang maupun lebih banyak untuk berjanji dan menaati dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang terlibat dalam suatu perjanjian.
Baiat ini berlaku bagi mereka untuk berjanji dalam ketaatan apapun tanpa adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang yang teraniaya dan menolong orang yang dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini termasuk Baiat Sughra.
Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya wajib bagi orang yang telah suka rela bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang telah mengikat janji setia, maka wajib baginya untuk memenuhi ikatan janji tersebut.[7]
Keluar dari Baiat Sughra adalah maksiat karena telah mengingkari janji yang mengikat antara sesama muslim. Dan ini telah jelas dalam syariat tentang hukum mengingkari janji dalam perkara ketaatan.
free_twitter_backgrounds_24
Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam satu wilayah bisa terjadi banyak baiat dengan arah masing-masing. Maka ketika ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian umat Islam dengan baiat masing-masing, hubungannya bersifat kerja sama dan nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah.
Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada penggabungan (tansik) untuk membentuk jamaah umat Islam yang satu bila terjadi kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang memiliki kekuatan (syaukah), sehingga jamaah yang menyelisihi tunduk di bawahnya.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah. Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi atau orang-orang munafk tetap ada, tetapi syaukah tidak ada pada mereka, sehingga tunduk di bawah otoritas kaum muslimin, yakni Daulah Nabawiyah n.
Baiat Kubra
Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat adalah Imam A’dham (khalifah).[8]Pihak yang membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari umat ini atau seorang khalifah sebelumnya setelah melakukan pertimbangan dan syura di antara kaum muslimin. Orang yang dibaiat atau dinobatkan menjadi khalifah wajib memenuhi syarat-syarat baiat.[9]
Baiat Kubra mengharuskan orang yang dibaiat untuk menerapkan segala ketentuan syariat bagi kaum muslimin.[10]
Di sisi lain, umat wajib mendengar dan taat kepada imam serta menolongnya selama tidak dalam maksiat.
Kewajiban dan komitmen baiat kubra
Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika imamah (khilafah) telah terwujud dengan kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk mendengar dan taat dan untuk menegakkan kitab Allah ta’ala dan sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barang siapa tidak berbaiat karena ada uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.”[11]
Setiap muslim wajib memegang teguh baiatnya. Berdasarkan hadits:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa mati dan belum berbaiat, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Hudzifah).[12]
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, “Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum muslimin adalah wajib menurut syar’i.”[13]
Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya ialah mendengar dan taat, serta tidak melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Amir), maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan baginya di dunia dengan tindakannya itu. Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah tidak ada alasan yang berguna baginya untuk menyelamatkan dari ancaman Allah pada hari kiamat.[14]
Al Hafidz Ibnu Hajar (wafat 852 H) dalam Fathul Bari mengatakan, “Yang dimaksud dengan al miitah al jaahiliyyah (mati dalam keadaan jahiliah) adalah keadaan mati seperti matinya orang jahiliah. Yakni mati dalam kesesatan; tidak mempunyai imam yang ditaati karena mereka dulu tidak tahu yang demikian. Ia tidak mati kafir, namun mati dalam keadaan maksiat.”
03535767f5b3ba5f48e2256953ebb5c2 - Copy
Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah al jahiliah) mengandung makna tasybih (penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia bukan orang jahiliah.”[15]
Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak memiliki imam, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.”
Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati oleh kaum muslimin. Mereka semua menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”[16]
Dengan memahami perbedaan antara Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan pemimpin kelompok atau jamaah yang ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di sini adalah pemimpin yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin dengan memenuhi segala syarat yang ada. Dan yang menjadi titik tekan juga adalah pemimpin tersebut merupakan pemimpin yang menjalankan syariat islam.
Jadi, kedudukannya benar-benar menjadi khalifah yang menjalankan fungsi kepemimpinan, yaitu menjaga agama (menjalankan hukum islam) dan mengatur kemaslahatan dunia.[17] Karena pemimpin yang demikianlah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.

Penulis: M. Fahrudin
Sumber: Majalah Kiblat berjudul “ISIS, Baiat, Daulah, dan Khilafah”
Footnote:
[1] Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani.
[2] Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[3] Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah f Al-‘Alaqoh baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), hal.153
[4] Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah f Al-Adyan wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/1000-1006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly of Moslem Youth)
[5] Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 298
[6] Abdurrahman Bin Mu’alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fe Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, hal. 235
[7] Idem
[8] Idem
[9] Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.
[10] Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban, lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17.
[11] Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302, Maktabah Syamilah
[12] Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23.
[13] Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah fi I’dadil Uddah: 1/144
[14] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, hal. 323.
[15] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar Ma’rifah, ), vol. 13, hal. 7
[16] Dinukil dari al-Wajiz fi Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230.
[17] Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7

Rabu, 17 Desember 2014

HAD MATA-MATA DAN MURTADDIN

Daulah Islam Tegakkan Had Atas Mata-Mata dan Murtaddin

          Kantor Berita wilayah Homs merilis laporan penegakkan hukum Allah atas dua orang-orang laki-laki di mana salah satu dari mereka adalah orang murtad yang ikut memerangi Daulah Islam dan satunya adalah seorang mata-mata musuh. Berikut ini terjemah rilisan lengkapnya:
untitled-2
Dinas Kepolisian Islam Wilayah Homs menegakkan hukum Hudud kepada dua orang laki-laki yang mana salah satu dari mereka berasal dari suku sya’ithath yang memerangi Daulah di Wilayah Al Khair. Ketika orang ini berhasil lari dari Wilayah Al Khayr kemudian ia bergabung dengan pasukan Syabihah Rezim Nushairiy di Damaskus kemudian ia tertangkap di tengah perjalanannya dari Damaskus menuju Tadmur dimana ia bermarkaz bersama para Syabihah dan telah terbukti kerja sama mereka bahkan ia mengakui akan hal itu. Adapun seorang yang satunya lagi ia memasang chip-chip di tempat tempat para Ikhwah berkumpul pada pertempuran Sya’ir agar pesawat Nushairiy dapat menargetkannya.
Kemudian Allah Ta’ala memberikan nikmat kepada para Mujahidin untuk menangkapnya dan mereka pun mengakui perbuatan itu yang akhirnya para Mujahidin menegakkan hukum Hudud atasnya di lapangan yang luas di hadapan kaum muslimin.
Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan kekuasaan kepada Daulah Islam dan yang telah menolongnya untuk menegakkan Syari’at Nya dan menjalankan hukum-hukum hudud-Nya.
Kaum Muslimin datang dan berkumpul untuk menyaksikan penegakan had
Kaum Muslimin datang dan berkumpul untuk menyaksikan penegakan had
Seorang Qadhi menyampaikan pidato kepada manusia, memberi mereka nasihat serta menyebutkan hukum syar'i atas agen Nushairy
Seorang Qadhi menyampaikan pidato kepada manusia, memberi mereka nasihat serta menyebutkan hukum syar’i atas agen Nushairy
Penegakan had atas murtaddin dari suku Sya'ithath yang berada di markaz rezim di Tadmur
Penegakan had atas murtaddin dari suku Sya’ithath yang berada di markaz rezim di Tadmur
Penegakan had atas agen rezim yang meletakkan chip mata-mata di tempat perkumpulan Mujahidin
Penegakan had atas agen rezim yang meletakkan chip mata-mata di tempat perkumpulan Mujahidin
Kaum Muslimin mengucapkan tahlil dan takbir setelah penegakkan had Allah atas yang pantas menerimanya
Kaum Muslimin mengucapkan tahlil dan takbir setelah penegakkan had Allah atas yang pantas menerimanya
Polisi Islam memindahkan mayat dua lelaki yang telah ditegakkan had atas mereka dari lokasi dilaksanakannya qishash
Polisi Islam memindahkan mayat dua lelaki yang telah ditegakkan had atas mereka dari lokasi dilaksanakannya qishash
Dan segala puji hanya bagi Allah
Kantor Berita
Wilayah Homs

Senin, 15 Desember 2014

Keutamaan Jihad & Mati Syahid

Tahu Keutamaan Jihad & Mati Syahid, Pasti Inginkan Hidup di Medan Jihad


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam- keluarga dan para sahabatnya.
Keterangan hadits shahih bahwa Jihad sebagai puncak amalan dalam Islam menjadi bukti bahwa jihad adalah amal kebaikan tertinggi di dalam Islam. Bahkan tidak ada amal yang keutamaannya bisa menandinginya. Karenanya, saat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ditanya perihal amal yang bisa menandingi jihad, beliau menjawab, "Aku tidak mendapatkannya."
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: "Wahai Rasulullah, Amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan Jihad fi Sabilillah?” beliau menjawab, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya."
Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyaan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, "Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya." Kemudian setelah yang ketiga beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
"Perumpamaan seorang mujahid Fi Sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama membaca ayat-ayat Allah. Dan dia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga seorang mujahid fi sabilillah Ta’ala pulang." (Muttafaq 'Alaih)
Kematian di medan jihad (syahid) terhitung sebagai kematian terbaik. Saat nyawa dicabut, ia tak merasakan sakit kecuali seperti dicubit. Setelah itu Arwah mereka ditempatkan di surga Firdaus yang tertinggi.
Rasullullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang bersabda kepada Ummu Haritsah binti Nu’man -putranya gugur di perang badar-ketika dia bertanya kepada beliau (tentang nasib putranya): “Di mana dia?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ”Sesungguhnya dia ada di surga Firdaus yang tinggi.” (HR. Al Bukhari)
Dalam Shahih Muslim, dari Masyruq Rahimahullah, berkata: "Kami bertanya kepada Abdullah tentang ayat ini (QS. Ali Imran: 169)
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.“ (QS. Ali Imran: 169)
Dia menjawab, "adapun kami telah bertanya tentang hal itu (kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam), lalu beliau menjawab:
"Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada’ itu ada di dalam tembolok burung hijau. Baginya ada lentera-lentera yang tergantung di 'Arsy. Mereka bebas menikmati surga sekehendak mereka, kemudian singgah pada lentera-lentera itu. Kemudian Rabb mereka memperlihatkan diri kepada mereka dengan jelas, lalu bertanya: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami bisa menikmati surga dengan sekehendak kami?” Rabb mereka bertanya seperti itu sebanyak tiga kali. Maka tatkala mereka merasa bahwasanya mereka harus minta sesuatu, mereka berkata, “Wahai Rabb kami! kami ingin ruh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami sehingga kami dapat berperang di jalan-Mu sekali lagi. “Maka tatkala Dia melihat bahwasanya mereka tidak mempunyai keinginan lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim)
Rindu Medan Jihad
Tidaklah setiap mukmin yang tahu keutamaan jihad, mati syahid dan kedudukan syuhada’ di sisi Allah pasti menginginkan ia berada di medan jihad dan gugur sebagai syahid. Begitulah yang disabdakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَأَنَّ لَهُ مَا عَلَى الأَرْضِ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ الشَّهِيدِ فَإِنَّهُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنَ الْكَرَامَةِ
Tidak ada orang masuk surga lalu ia menginginkan kembali ke dunia padahal ia memiliki segala sesuatu yang ada di dunia ini, kecuali orang yang mati syahid. Dia bercita-cita untuk kembali ke dunia kemudian dibunuh, berulang sepuluh kali, setelah dia melihat besarnya kemuliaan (mati syahid)” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Baththal berkata, “hadits ini adalah keterangan yang paling utama tentang keutamaan jihad.” Dan tidak ada amal kebaikan dengan resiko kehilangan nyawa yang selain jihad, karenanya pahalanya sangat besar.
Bahkan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri mengaku menginginkan hal itu,
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدِدْتُ أَنِّى أَغْزُو فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَلُ
"Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang berperang di jalan Allah lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh. Kemudian aku berperang lalu terbunuh." (Muttafaq 'Alaih, lafadz milik Imam Muslim. Dalam redaksi lainnya, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh aku senang terbunuh di jalan Allah lalu dihidupkan.")
Beliau menghinakan orang yang tidak memiliki semangat jihad dan tidak memiliki keinginan terjun ke medan jihad. [Baca: Salafi Harus Cinta Jihad dan Mati Syahid]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
"Siapa yang meninggal sementara ia tidak pernah berperang (berjihad) dan tidak pernah meniatkan untuknya, maka ia mati di atas cabang kenifakan." (HR. Muslim)
Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang lain tentang orang yang tak mau berandil dalam jihad sedikitpun,
مَنْ لَمْ يَغْزُ أَوْ يُجَهِّزْ غَازِياً أَوْ يَخْلُفْ غَازِياً فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ أَصَابَهُ اللَّهُ بِقَارِعَةٍ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa belum pernah berperang, atau memberi bekal orang yang berperang, atau menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, maka Alloh akan menimpakan kegoncangan kepadanya sebelum datangnya hari kiamat.” (HR. Abû Dâwud, Ibnu Majah, Thabrani, Al Baihaqi, Ibnu Abi Ashim dengan sanad Hasan)
Jawaban imamul mujahidin Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada orang yang ingin masuk surga tanpa mau berjihad,
لَا صَدَقَةَ وَلَا جِهَادَ فَبِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟
"Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?" (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih. Al-Dzahabi menyepakatinya)
Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyemangati para sahabatnya untuk memiliki andil dalam jihad fi sabilillah sesuai kemampuan dan kapasitasnya. Sehingga setiap umat Islam tidak tertinggal dari pahala yang besar.
Dari Anas Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَأَنْفُسِكُمْ, وَأَلْسِنَتِكُمْ
Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu." (HR. Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim)
Dari Zaid bin Khalid Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
"Siapa yang menyiapkan kebutuhan seorang yang berperang fi sabilillah maka sungguh ia telah ikut berperang. Dan siapa yang mengurus keluarga orang yang berperang fi sabilillah dengan baik maka sungguh ia telah ikut berperang." (Muttafaq 'Alaih)
. . . Rasulullah menyemangati para sahabatnya untuk memiliki andil dalam jihad fi sabilillah sesuai kemampuan dan kapasitasnya. . .
Makna ghazwah dalam hadits di atas adalah jihad. Maka orang yang menyiapkan sesuatu untuk orang yang berperang adalah menyiapkan untuknya apa saja yang dibutuhkan dalam safar dan perangnya. Apa keutamaan yang didapatkan orang yang menyiapkan tadi? Dia mendapat pahala jihad atau dicatat untuknya pahala berperang fi sabilillah walaupun ia tidak ikut berperang karena ia membantu orang yang sedang berperang fi sabilillah.
Keutamaan mendapat pahala berjihad juga didapatkan oleh orang yang ikhlas dan amanah memenuhi kebutuhan keluarga mujahid yang ditinggalkan, berupa memenuhi nafkah keluarga tersebut, mengobatkan yang sakit, membiayai pendidikan anak-anaknya, dan semisalnya. Wallahu A’lam

Minggu, 14 Desember 2014

ANTARA MALU DAN CEMBURU
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam suatu riwayat, Rasulullaah -Shalallaaahu ‘Alayhi Wa Sallam- bersabda memuji wanita, Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” [1]
Dan dalam riwayat yang lain, Allaah Ta’ala menetapkan atas wanita melalui lisan Rasul-Nya, Aku tidak meninggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan para lelaki melainkan fitnah wanita.” [2]
Ya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak wanita yang seolah enggan untuk menjadi perhiasan terbaik di dunia, bahkan mereka lebih memilih untuk menjadi seburuk-buruk fitnah bagi kaum lelaki. Fenomena itu berputar-putar mengelilingi kepalanya, memecah konsentrasi pikirannya, membuatnya bertanya-tanya dalam hati…
MENGAPA?
Ia berusaha menggali sesuatu dalam pikirannya, menelusuri labirin waktu, mengingat kisah para teladan yang telah lalu…
Al kisah ‘Asma binti Abu Bakr -radhiallaahu ‘anha-. Pada suatu hari yang terik, ia berada dalam perjalanan pulang dari sebuah kebun yang jaraknya cukup jauh sambil memikul biji gandum di kepalanya. Ia kemudian bertemu dengan Rasulullaah -Shalallaaahu ‘Alayhi Wa Sallam- yang menungggangi unta bersama beberapa sahabat Anshar lainnya. Rasulullaah yang melihat ‘Asma kemudian memberinya isyarat agar ia naik ke atas unta beliau. Namun, ‘Asma menolaknya karena ia malu terhadap lelaki lainnya, ‘Asma pun teringat akan Zubair -radhiallaahu ‘anhu- (suaminya) yang sangat pencemburu, ia khawatir suaminya akan marah… [3]
‘Asma mengerti bahwa suaminya amat sangat pencemburu sehingga ia lebih memilih berjalan kaki memikul biji gandum yang berat untuk jarak yang cukup jauh dan menolak tawaran Rasulullaah (yang merupakan iparnya), hanya untuk menjaga perasaan suaminya.
Dalam kisah lain, seorang sahabat, Sa’ad bin Ubadah -radhiallaahu ‘anhu- berkata, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku pukul ia dengan pedang pada bagian yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka Rasulullah berkata, “Apakah kalian heran akan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allaah lebih cemburu daripadaku.” [4]
Akhirnya, ia menemukan benang merah. Ia berhipotesis bahwa akar masalah yang selama ini menjadi penyebab kerusakan wanita adalah:
1. Hilangnya rasa malu pada diri wanita
2. Hilangnya rasa cemburu pada diri laki-laki
Sebagaimana telah diketahui, apabila seseorang telah kehilangan rasa malu, maka ia akan berbuat sesukanya. “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” [5]. Hilangnya rasa malu ini kemudian diperparah dengan hilangnya rasa cemburu pada diri yang mengaku laki-laki. Hilangnya rasa cemburu dari seorang laki-laki yang mengaku ayah atas putrinya, hilangnya rasa cemburu dari seorang laki-laki yang mengaku kakak/adik atas saudari perempuannya, hilangnya rasa cemburu dari seorang laki-laki yang mengaku anak atas ibunya, dan hilangnya rasa cemburu dari seorang laki-laki yang mengaku suami atas istrinya…
Wanita seolah merasa tak bersalah jika melakukan suatu hal yang melanggar syari’at-Nya. Sebaliknya, ia akan merasa baik-baik saja dan merasa telah melakukan yang terbaik, ia tak peduli apa yang dikatakan orang lain kepadanya, karena orang-orang terdekatnya pun tidak mencegahnya dari melakukan sesuatu yang melanggar syari’at-Nya. Mereka yang mengaku laki-laki mulai tak peduli terhadap wanita-wanitanya, membiarkan mereka pergi di malam hari, ntah bersama siapa, dan membiarkan mereka membungkus auratnya, bukan menutupnya, karena terkadang lelaki tak mengerti mana batasan aurat wanita.
Semoga Allaah Ta’ala merahmati seorang ayah yang berkata kepada anaknya,“Putriku, janganlah engkau berpakaian seperti wanita-wanita jahiliyah…. yang menampakkan keindahan tubuh mereka melalui lekuk tubuhnya. Karena sejatinya, mereka tidak menutup auratnya. Sunguh, aku tidak mau menjadi lelaki Dayyuts.”[6]
Semoga Allaah Ta’ala merahmati seorang suami yang berkata kepada istrinya,“Sayangku, mana sarung tanganmu? Jika engkau keluar, engkau harus memakainya agar keindahan lentiknya jarimu tak menjadi kenikmatan bagi lelaki ajnabi yang memandangnya.”
Dan semoga Allaah Ta’ala merahmati Asy Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam yang berkata,
“Kepada para Lelaki: Sesungguhnya tidaklah wanita rusak, dan sampai kepada tingkat kerusakan seperti ini, yaitu Tabarruj dan Sufuur, dan memandang remeh urusan Dien dan hijabnya kecuali karena sebagian lelaki memandang remeh terhadap urusan wanita mereka, dan bermasa bodoh terhadap Dien mereka, dan hilangnya sifat mereka sebagai lelaki, hilang sifat cemburu dari diri mereka, bahkan tidak merasa hina dengan adanya perbuatan tabarruj dan sufuur yang dilakukan oleh wanita-wanita mereka. Aduhai, betapa hinanya, kalian lihat sebagian lelaki telah hilang sifat mereka sebagai lelaki, sehingga mereka pada akhirnya menjadi lelaki yang tambun (pemalas) bukan lelaki yang satria [maksudnya para lelaki tidak mau lagi menasehati wanita yang tabaruj dan sufuur-ed].”
“Kemudian celakalah mereka yang tidak mengerti kehormatan diri-diri mereka, dan tidak menjaga orang-orang yang berada dalam tanggung jawab mereka, yang tidak melaksanakan dengan baik apa yang Allaah telah perintahkan dalam menjaga kaum wanita, sedangkan Rasulullah Shalallaahu ‘Alayhi Wa Sallam telah memberikan peringatan tentang hal ini, beliau bersabda: “Tidaklah seorang penanggung jawab yang Allaah berinya tanggung jawab untuk mengurusi tanggungannya, kemudian orang yang menjadi tanggungannya itu meninggal, dalam keadaan si penanggung tidak mempedulikan keberadaan orang yang meninggal tadi, kecuali Allaah akan haramkan baginya jannah (syurga)” ‘Wahai kaum lelaki, sesungguhnya harga diri kalian itu adalah seperti nyawa kalian, sesungguhnya telah banyak orang yang rusak di antara kalian, mereka menyepelekan masalah tanggung jawab, melalaikan amanah. Kalian telah berada dalam keadaan bahaya, dan tidaklah kalian rusak kecuali oleh diri kalian sendiri, sedangkan kalian tidak menyadarinya. Tidakkah kalian berfikir dan bertaubat kepada Rabb (Tuhan) kalian dan menjaga wanita-wanita kalian?” [7]
Allaah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim [66]:6)
Wallaahua’lam bis shawab
Al-faqir Wal-Haqiir Ilallaah
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template